Langsung ke konten utama

SUKU MELAYU JAMBI - JAMBI

JAMBI adalah salah satu dari tujuh suku bangsa asal di Provinsi Jambi. Orang Melayu Jambi lebih banyak berdiam di Kota Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Jabung, dan Kabupaten Bungo Tebo. Daerah persebaran mereka meliputi aliran Sungai Satang Hari beserta anak-anak sungainya, yaitu Sungai Batang Tembesi, Sungai Batang Asai, dan Sungai Satang Merangin. Sebagian dari ketujuh suku bangsa asal itu dikategorikan sebagai Melayu Tua (Proto-Melayu), dan lainnya Melayu Muda (Deutro Melayu). Suku bangsa Melayu Jambi diperkirakan berasal dari golongan Melayu Muda yang berasal dari Hindia Belakang. Nenek moyang orang Melayu Jambi ini diperkirakan datang ke daerah ini sekitar tahun 3500 SM. Keturunan orang Melayu Jambi yang sekarang ini sudah mendapat pengaruh kebudayaan luar, seperti kebudayaan Hindu, Islam, Eropa, dll.

Latar belakang Sejarah Perkembangan

Menurut catatan sejarah, penduduk daerah Jambi diperkirakan telah berhubungan dengan dinasti-dinasti dari pemerintahan kerajaan-kerajaan di Cina sejak awal abad ke-7. Dalam tulisan yang dibuat semasa pemerintahan dinasti Tang (sekitar tahun 961) dan dinasti Sung (tahun 1005-1013), disebut-sebut bahwa pada tahun 644-645 sebuah kerajaan Melayu telah mengirim utusan kerajaannya ke negeri Cina. Kerajaan Melayu yang disebutkan itu diperkirakan merupakan kerajaan yang berlokasi di Jambi. Selain itu, pada bagian akhir abad ini pula I-Tsing, pendeta Budha dari Cina, singgah di Jambi dalam perjalanannya menuju India dan Sriwijaya. Sejak abad ke-7 sampai 15, agama Hindu-Budha menjadi anutan orang Melayu Jambi.

Pengaruh Hindu dan Buddha di kalangan masyarakat Jambi terlihat dari beberapa peninggalan sejarah yang ditemukan di daerah ini. Di Muara Jambi, yang terletak sekitar 30 Km ke arah timur laut kota Jambi, yang terletak sekitar 30 Km ke arah timur laut kota Jambi, terdapat kompleks percandian yang sangat luas. Candi-candi dengan ukuran besar dan kecil yang ditemukan ini berjumlah tidak kurang dari 30 buah. Candi-candi ini diperkirakan berasal dari abad ke-11 dan 14, dan memiliki hubungan dengan keberadaan Kerajaan Sriwijaya. Pengaruh Hindu-Buddha lainnya terlihat dalam persamaan antara gelar raja-raja Melayu Jambi dan gelar raja dari Kerajaan Kertanegara yang tertera dalam beberapa piagam bersejarah.

Dengan masuknya agama Islam di kalangan masyarakat Melayu Jambi pada abad ke-15, pengaruh agama Hindu-Budha secara berangsur-angsur mulai tergeser dan menghilang. Perkembangan pesat agama Islam di daerah ini terjadi pada saat Kerajaan Melayu Jambi diperintah oleh rajanya yang bernama Putri Selaras Pinang Masak. Pada saat itu pusat kerajaan berada di daerah Tanjung Jabung. Kemudian, pada saat raja Orang Kayo Hitam naik takhta memerintah kerajaan pada tahun 1500, agama Islam ditetapkan menjadi agama kerajaan yang harus dianut oleh seluruh penduduk. Bersamaan dengan itu Kerajaan Melayu Jambi juga memisahkan diri dari Kerajaan Majapahit. Struktur pemerintahan kerajaan pun diubah menjadi kesultanan, dengan pemimpin yang bergelar sultan. Wilayah Kesultanan Jambi pada saat itu meliputi seluruh daerah Provinsi Jambi sekarang ini. Akhirnya seperti yang terwujud sekarang, agama Islam menjadi anutan orang Melayu Jambi. Dalam pelaksanaannya agama dan adat berjalan seiring dan saling melengkapi, seperti tercermin dalam pepatah adat yang mengatakan "Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah".

Bahasa dan Tulisan

Orang Melayu Jambi adalah salah satu kelompok pemakai bahasa Melayu. Bahasa yang digunakan oleh orang Melayu Jambi mengalami perubahan dalam proses waktu dan keadaan setempat, sehingga menjadi salah satu dialek bahasa Melayu. Ciri-ciri dialek Melayu Jambi, antara lain, vokal a pada akhir kata tertentu dalam bahasa Indonesia terdengar sebagai vokal o pada dialek Melayu Jambi. Contohnya: mata > mato, saya > sayo, lada > lado, dsb.

Sebelum orang Melayu Jambi mengenal tulisan Latin seperti sekarang, mereka telah mengenal dan menggunakan tulisan Pallawa dan tulisan Arab. Aksara Arab sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan dan komunikasi. Aksara Arab itu lazim mereka kenal dengan nama tulisan "Arab Gundul" atau "Arab Melayu" yang menunjukkan perbedaan tertentu dengan tulisan aksara Arab untuk menuliskan kata-kata bahasa Melayu. Tulisan ini digunakan sejak masa kerajaan atau kesultanan Melayu yang lalu.

Data Demografi

Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Melayu Jambi pada saat ini. Berdasarkan data sensus tahun 1976, jumlah mereka diperkirakan sekitar 300.000 jiwa. Pada tahun 1988 hanya diketahui jumlah seluruh penduduk di kecamatan-kecamatan yang termasuk wilayah penyebaran mereka, yaitu penduduk Kecamatan Batanghari 267.491 jiwa; Kecamatan Tanjung Jabung 350.680 jiwa; Kecamatan Bungo Tebo 330.757 jiwa; dan Kota Jambi 287.881 jiwa. Di wilayah Kota Jambi, orang Melayu Jambi hidup berdampingan dengan berbagai suku bangsa lain, yaitu penduduk asli Jambi lainnya dan berbagai suku bangsa pendatang dari luar Jambi. Di Kabupaten Tanjung Jabung dan Bungo Tebo, selain berbaur dengan suku bangsa asli Jambi lainnya, orang Melayu Jambi juga berdampingan dengan penduduk luaryang masuk melalui program transmigrasi di daerah ini.

Pola Permukiman dan Sistem Mata pencaharian

Perkampungan asli orang Melayu Jambi dapat dikenali dari bentuk rumah adatnya yang khas, yang sering disebut "Rumah Melayu". Rumah adat Melayu Jambi didirikan di atas panggung bertiang dari kayu, sehingga disebut rumah betiang. Sebutan lain untuk rumah adat Jambi adalah rumah kajang lako. Setiap ruangan memiliki fungsi tertentu. Di bagian depan terdapat pelancan, yaitu serambi terbuka sebagai tempat menerima tamu dan tempa tanak laki-laki belajar mengaji. Ruangan utamanya yang terletak di tengah disebut serambi dalam, yaitu tempat para orang tua atau pemuka adat melakukan musyawarah. Pada bagian ini juga ditempatkan kamar tidur untuk kaum laki-laki (bujang) dan perempuan (gadis). Di belakang serambi dalam terdapat laren, yaitu tempat para gadis menerima tamu dan melakukan berbagai kegiatan sehari-hari. Di bagian belakang terdapat dapur, yang didirikan terpisah dari bangunan utama. Di antara dapur dan bangunan utama terdapat ruangan terbuka sebagai penghubung (garang), yang sekaligus berfungsi untuk melakukan berbagai kegiatan rumah tangga. Kolong rumah dipergunakan sebagai tempat memelihara ternak. Sebagai pelengkap rumah adat ini, biasanya di bagian belakang terdapat bangunan yang disebut blubur, yaitu tempat menyimpan padi dan peralatan pertanian

Sungai-sungai yang banyak terdapat di sekitar tempat tinggal mereka merupakan salah satu sumber mata pencaharian orang Melayu Jambi. Selain menangkap ikan untuk bahan makanan, sebagian penduduk juga menjadikan sungai sebagai sarana transportasi. Bercocok tanam di ladang merupakan jenis mata pencaharian yang cukup penting bagi masyarakat Melayu Jambi pada masa kini. Mereka juga mengenal mata pencaharian berburu, meramu hasil hutan, berdagang, bersawah, menjadi pegawai negeri, TNI, buruh, dsb. Untuk jenis mata pencaharian tradisional seperti berladang, menangkap ikan, dan berburu, mereka mengembangkan alat dan teknologi tersendiri misalnya dalam penangkapan ikan digunakan tuba akar, taiman, ambat, tangkul, kacar, sukam, lukah, rawe, cemetik, takalak, dsb.

Orang Melayu Jambi mengenal dan menggolongkan perladangan dalam beberapa bentuk, yaitu perelak, kebun mudo, umo renah, dan umo talang. Perelak adalah sebidang tanah disekitar desa (kampung) yang ditanami berjenis-jenis tanaman untuk memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari, seperti cabai, kunyit, serai, laos, tomat, kacang gulai, ubi ramata, ubi kayu, dan pisang. Kebun mudo adalah sebidang tanah yang ditanami satu jenis tanaman muda tertentu, misalnya pisang, kedelai, atau kacang tanah. Umo renah adalah ladang cukup luas yang ditanami padi dengan selingan tanaman muda, seperti cabai, tomat, terong, labu, mentimun. Di sekitar ladang itu mereka juga menanam tanaman keras seperti duku, durian, karet, dsb. Umo talang adalah ladang jauh di tengah hutan, yang biasanya ditanami padi. Di sini mereka juga menanam tanaman keras, seperti karet dan durian. Mereka juga membuat rumah yang dihuni selama menunggu panen padi. Setelah panen, ladang tersebut akan menjadi kebun karet atau kebun durian.

Dalam bercocok tanam di ladang sering dilaksanakan upacara gotong royong, yang dikenal dengan nama katalang-petang. Upacara ini dilaksanakan pada musim bertanam atau pada waktu panen. Padi Pemilik ladang yang ladangnya cukup luas mengundang dan menyediakan makanan bagi warga kampungnya, terutama kaum muda-mudi. Upacara adat ini berlangsung sehari semalam. Para undangan datang pada sore hari dengan mengenakan pakaian bagus, sebab pada malam harinya akan berlangsung acara muda-mudi semalam suntuk. Dalam acara ini mereka berdendang, bersenandung, menampilkan tari rangguk, tari selampit, berdzikir, dsb. Pagi harinya mereka bekerja dengan selingan nyanyian dan pantun bersahut-sahutan. Orang-orang tua biasanya menyingkir agar kaum muda-mudi mendapat kesempatan dari kebebasan untuk saling berkenalan. Acara ini biasanya berakhir ketika matahari hampir terbenam.

Masyarakat Melayu Jambi mengenal tigajenis sawah, yaitu sawah payau sawah tadah hujan, dan sawah pasang surut. Sawah payau adalah sawah yang airnya berasal dari sumber mata air yang telah tersedia secara alamiah atau tanahnya sendiri memang sudah berlumpur. Sawah tadah hujan adalah sawah yang airnya tergantung pada turunnya hujan. Sawah pasang-surut terdapat di tepi pantai dengan lahan yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Untuk sawah jenis ini para petani membuat parit-parit dengan lebar sekitar 5-6 meter. Parit ini berfungsi sebagai sararia lalu lintas perahu pada musim pasang dan sebagai jalan air yang akan menggenangi sawah. Sewaktu pasang surut, parit berfungsi sebagai saluran untuk mempercepat keringnya air yang tergenang di sawah.

Sistem Kekerabatan

Kelompok kekerabatan terkecil umumnya adalah keluarga inti monogami. Sistem penarikan garis keturunannya adalah bilateral, yaitu dari garis laki-laki atau dari garis perempuan. Dengan demikian hubungan kekerabatan dalam kelompok keluarga luas dapat terbentuk menurut garis keturunan ayah maupun ibu. Dalam setiap keluarga luas biasanya terdapat orang yang bertanggung jawab memimpin anggota keluarganya, yaitu yang disebut mamak. Peranan mamak sangat penting, terutama dalam upacara-upacara yang menyangkut lingkaran hidup. Misalnya dalam upacara menyambut kelahiran bayi, yang disebut upacara mandi kayik, kehadiran dan doa restu mamak: lelaki dan perempuan si bayi merupakan keharusan. Pencarian jodoh lebih cenderung antara anggota satu kampung atau dusun. Pembatasan jodoh tidak terlalu ketat, kecuali antara orang-orang yang bersaudara kandung.

Masyarakat Melayu Jambi yang menetap di sekitar kota Jambi mengenal bentuk kesatuan hidup setempat setingkat desa yang dikenal dengan nama kampung. Sebuah kampung dipimpin oleh kepala kampung, yang pada masa lalu disebut tuo kampung. Di daerah lain bentuk desa semacam ini dikenal dengan sebutan marga, yang dipimpin oleh pasirah. Sebagai pemimpin marga, pasirah bertindak dan bertanggung jawab memimpin masalah adat sekaligus administrasi pemerintahan marga. Sebuah marga biasanya terdiri dari gabungan beberapa dusun yang para anggota berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama. Dalam setiap dusun terdapat seorang depati atau penghulu, yang bertanggungjawab langsung atas warga dusunnya. Selain itu juga terdapat golongan yang dituakan dan dihormati, yaitu tua tengganai, datuk suku, dan cerdik pandai. Golongan lain yang juga memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat adalah dukun.

Sistem Kesenian

Bentuk-bentuk kesenian orang Melayu Jambi tidak berbeda jauh dengan bentuk kesenian lain yang mengandung unsur budaya Melayu dan agama Islam. Mereka mengembangkan berjenis-jenis tarian yang biasanya dipertunjukkan sebagai pelengkap upacara adat. Seni ukir dari daerah ini memiliki ciri khas yang dapat dapat dilihat dari berbagai motifnya, yaitu motif bunga jeruk, daun sulur, trisula layar, relung kangkung, bunga matahari, dan motif keris. Ciri khas budaya Melayu Jambi juga terdapat dalam berbagai bentuk kerajinan rakyat, misalnya tenunan songket, kain batik, sulaman, dll.

Komentar