DANI adalah satu suku-bangsa yang merupakan salah satu penduduk asal di wilayah
Pegunungan Tengah, Provinsi Papua. Deskripsi kebudayaan Dani ini banyak dikutip
dari hasil penelitian tim Jurusan Antropologi Universitas Indonesia tahun 1993.
Tim ini mencoba memahami 'Hubungan Adat istiadat dan Kesehatan Orang Dani yang
berdiam di Kecamatan Kurulu (Swasono et al, 1994). Belakangan ini sudah semakin
banyak hasil-hasil penelitian tentang orang Dani yang bisa dijadikan rujukan
Lokasi dan Lingkungan Alam
Daerah
kediaman orang Dani ini termasuk bagian wilayah Kabupaten Jayawijaya dan
Kabupaten Paniai. Kabupaten Jayawijaya terdiri atas 12 kecamatan, yaitu
Kecamatan Wamena, Kurulu,Asalogaima, Makki, Kelila, Bokondini, Karubaga, Tiom,
Kurima, Okbibab, Kiwirok, dan Oksibil. Kabupaten Paniai terdiri atas 17
kecamatan, yaitu Kecamatan Nabire, Ilaga, Tigi, Mulia, napan, Jaur, Paniai
Timur, Paniai Barat, Ilu, Kamu, Mapia, Sinak, Aradide, Homeo, sugapa, Beoga,
dan Uwapa.
Mereka
tersebar dalam wilayah luas, mulai dari lembah Ilaga di sebelah barat sampai ke
lembah Baliem. Wilayah ini seolah dipagari dinding gunung yang menjulang
tinggi, di sebelah utara dengan ketinggian 3.500 meter, dan di bagian selatan
dengan ketinggian 4.500-4.750 meter. Luas lembah ini mencapai 6.000 mil
persegi, di mana terdapat lembah Baliem, Ilaga, Dwart, Konda, llu, Sinak,
Mulia, Pas Valley, dan Piet River. Lembah Baleim adalah yang terluas, dengan panjang
45 kilometer dan lebar 15 kilometer, dengan ketinggian 1.600 mpdl. Lembah yang
dilalui sungai Baliem ini merupakan daerah subur untuk perhatian.
Demografi
Anggota
suku-bangsa Dani ini diperkirakan paling sedikit sekitar 200.000 jiwa, yang
merupakan suku-bangsa terbesar jumlah anggotanya di antara ratusan suku-bangsa
asal di Irian Jaya. Orang Dani yang ada di lembah Baliem diperkirakan sekitar
60.000 jiwa, yang berdiam di Kecamatan Wamena, Kecamatan Kurulu, sebagian
Kecamatan Kurima, Bakondini, Asalogaima. Orang Dani bertetangga dengan beberapa
kelompok etnik lain, misalnya dengan orang Yali di bagian tenggara, orang Mek
di bagian timur, orang Uhunduni di bagian barat, utara, dan bagian selatan
pegunungan Carstenz, serta orang Ekagi, dan orang Moni di sekitar danau Paniai.
Bahasa
Orang
Dani mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Dani yang termasuk rumpun bahasa
Papua. Peter J.Silzer membagi bahasa Dani menjadi bahasa Dani Barat dan bahasa
Dani Lembah Besar. Bahasa Dani Barat didukung oleh sekitar 129.000 penutur.
Mereka tersebar dalam wilayah Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Paniai, yaitu
di kecamatan Karubaga, Bokondini, Kelila, Tiom, Sinak, Ilaga, Mulia, dan Ilu.
Bahasa Dani Lembah Besar didukung oleh sekitar 100.000 penutur, berdiam dalam
tiga kecamatan di Kabupaten Jayawijaya, yaitu di Kecamatan Wamena, Asalogaima,
dan Kurima. Silzer tidak menyebut Kecamatan Kurulu, padahal orang Dani
merupakan penduduk mayoritas kecamatan ini; yaitu 10.345 jiwa orang Dani di antara
15.651 penduduk Kecamatan Kurulu tahun 1993. P.J. Silze membagi bahasa Dani
Lembah Besar ini menjadi tiga dialek, yaitu dialek Dani Lembah Besar Atas
(20.000 penutur), Dani Lembah Besar Tengah (50.000 penutur), dan Dani Lembah
Besar Bawah (20.000 penutur).
Latar Belakang Sejarah
Secara
umum, latar belakang sejarah orang Dani masih merupakan misteri. Para ahli
berpendapat bahwa orang Dani mulai menempati lembah Baliem ini sekitar 24.000
tahun SM, dan mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak kira-kira
sejak 7.000 tahun SM. (Koentjaraningrat, 1993). Hasil penelitian arkeologi
menemukan sisa-sisa pembakaran yang berasal dari masa 10.000 tahun yang lalu.
Mitos
orang Dani sendiri mengungkapkan bahwa mereka berasal dari manusia pertama yang
keluar dari dalam sebuah lubang di dua kampung dekat sungai Salim. Manusia
pertama itu masing-masing sorang wanita dan seorang pria yang bernama Bak.
Manusia pertama inilah yang membawa kebutuhan mereka, seperti, petatas
(ubi jalar), keladi, tembakau, tebu, anjing, dan babi. Kemudian Bak menjelajahi
seluruh lembah Salim. Menurut kepercayaan mereka sekarang Bak itu tinggal di laut,
sebagai suatu pertanda mereka berasal dari daerah pesisir.
Mereka
tidak menyebut dirinya orang "Dani", bahkan tidak senang menggunakan
nama tersebut. Mereka menyebut dirinya nit
Baliemege, artinya "kami orang Salim". Kata Dani pertama-tama
digunakan oleh Le Roux, pimpinan ekspedisi Belanda-Prancis tahun 1926, karena
orang Moni menyebut "Ndani" terhadap tetangganya di lembah Baliem
ini. Orang Dani itu sendiri baru ditemukan anggota ekspedisi itu tahun 1929 dan
pada tahun 1939 pesawat terbang untuk pertama kalinya meridarat di sungai Baliem.
Zending pertama di bawah pimpinan Nyron Bromley masuk tahun 1954, dia melakukan
penelitian mendalam tentang budaya orang Dani, yang kemudian mencapai gelar Ph.D.
dalam bidang Antropologi. Pemerintah Beianda baru membuka pos pertama disana
tahun 1956 sampai dengan kekuasaan politik beralih kepada pemerintah Indonesia
tahun 1963. Pembangunan yang berjalan selama masa pemerintah RI. telah banyak
menimbulkan perubahan pada budaya mereka.
Pola Perkampungan
Seperti
yang tampak pada pemukiman orang Dani di desa Jiwika, Kecamatan Kurulu, pola
perkampungannya menyebar. Artinya, kompleks bangunan yang disebut Silimo
tersebar dalam wilayah desa itu, baik di areal yang datar atau di kaki-kaki
bukit. Silimo terdiri dari sejumlah unit bangunan, dengan lata letak dan fungsi
tertentu. Bangunan itu terbuat dari bahan yang berasal dari lingkungan
setempat, seperti kayu dan alang-alang atau rerumputan. Keseluruhan unit
bangunan ini berbentuk oval, diberi pagar (leget) dengan susunan kayu yang
rapat, tidak mudah di masuki kecuali lewat pintu-pagar (mokarai). Masuk dari
pintu pagar harus menaiki satu atau dua anak tangga atau berupa kayu bercabang.
Sedangkan ternak babi masuk melalui pintu khusus. Di luar pagar di sekitar
kompleks itu mereka menanam tanaman seperti tebu, tembakau, buah-buah, dan
lain-lain
Unit
bangunan tadi adalah rumah-hunian (honai) yang dibedakan antara "rumah
laki-laki" (pilamo), "rumah perempuan" (ebe-ae), dapur (hwzila),
dan kandang-babi (wamdabu). Baik rumah laki-laki maupun rumah perempuan
berbentuk bulat setengah lingkaran. Bangunan ini hanya mempunyai satu pintu
berukuran rendah, tanpa jendela maupun ventilasi, sehingga keadaan ruangan itu
menjadi gelap. Di dalamnya ada dua lantai. Lantai bawah berketinggian sekitar
setengah meter dari permukaan tanah. Jarak lantai bawah dengan lantai atas
(loteng) cukup rendah. sehingga orang dewasa tidak bisa berdiri tegak dalam
ruangan itu. Diameter pilamo berukuran sekitar empat meter. Lantai bawah
berketinggian sekitar setengah meter dari tanah. Lantai bawah adalah tempat
duduk-duduk atau beristirahat dan ruang tidur. Lantai atas merupakan tempat
atau ruangan untuk tidur saja.
Ruangan
bawah ini tempat menyimpan kaneke yaitu benda-benda pusaka, dan di satu bagian
ruang itu ada "kotak" yang tidak boleh dilihat oleh sembarang orang. Namun,
seorang Dani pernah mengatakan kotak di pilamo-nya pernah dilihat oleh turis
asing dengan syarat membayar Rp.50 ribu. Ruangan ini dilengkapi pula dengan
tungku. Menjelang malam, api dihidupkan, ruangan penuh asap yang berfungsi
untuk penghangat dalam mengatasi dinginnya temperatur lingkungan. Konon pula,
mereka umumnya belum berbusana dan tidak mengenal selimut. Alas tidur pun hanya
berupa sejenis rumputan berdaun halus.
Ebe-ae
berdiameter lebih kecil. Namun, keadaan ruangannya lebih kurang sama dengan
pilamo yang digambarkan di atas. Pilamo dihuni hanya oleh laki-laki terutama
yang sudah dewasa. Pintu bangunan ini berada satu garis lurus dengan pintu
pagar. Maksudnya agar mudah mengawasi orang yang masuk. Pengawasan itu
ditujukan pada musuh, karena di masa lalu sering terjadi perang. Ebe-ae adalah
tempat kediaman wanita beserta anak-anak. Ebe-ae biasa lebih dari satu, karena
budaya mereka membenarkan suami memiliki lebih dari satu istri, bahkan
bisa disebut banyak istri. Antara dua Ebe-ae, yang masing-masing dihuni seorang
istri dengan anak-anaknya, biasanya ada kandang babi, selain kandang yang lebih
luas yang sejajar dengan dapur.
Dapur
(hunila) bangunan yang memanjang, karena dalam satu bangunan itu ada sejumlah
tungku milik dari para istri tadi. Bila ada upacara, misalnya upacara kematian,
mayat diletakkan di ruang dapur dan para kerabat yang melayat masuk dan duduk
dalam ruang itu.
Bagian
tengah dari kompleks silimo ini merupakan halaman yang cukup lega. Halaman
digunakan untuk berbagai upacara, misalnya bakar babi, bakar ubi, bahkan
pembakaran mayat. Di halaman ini pula para kerabat atau pelayat duduk bersama,
misalnya menyatakan duka citanya dengan cara meratap bersama, membagi noken,
menyampaikan informasi yang menyangkut kematian itu. Kebutuhan akan air,
misalnya air minum, diambil dari sungai atau anak sungai yang ada di sekitar
lingkungan kediaman mereka. Dalam keadaan tertentu, mereka langsung minum dari
air sungai itu. Yang tidak boleh dilakukan adalah Buang air besar di sungai itu
untuk menjaga "kebersihannya". Sebaliknya, sekitaran Silimo atau jalan-jalan
setapak di lingkungan pemukiman bertebaran kotoran babi.
Ladang
tempat bercocok tanam terdapat di areal yang datar atau di lereng-lereng bukit.
Ladang itu ada yang berdekatan dan ada yang jauh dengan tempat kediaman mereka.
Betapapun luasnya, ladang diberi pagar yang kukuh untuk menghindari masuknya
babi yang merusak tanaman.
Mata Pencaharian
Jenis
mata pencaharian utama orang Dani bercocok tanam di ladang dengan sistem berpindah.
Penebangan kayu dilakukan oleh laki-laki Sebagian kayu bekas tebangan itu
dibakar dan sebagian lainnya dijadikan pagar ladang. Pembuatan pagar itu juga
dikerjakan oleh laki-laki. Pekerjaan lain kaum laki laki membuat alat-alat
seperti tombak, busur, dan anak panah. Alat itu untuk menombak babi, memanah
burung dan pada masa lalu untuk alat perang.
Tanaman
utama di ladang adalah ubi (hipere). Kaum wanita mengerjakan macam-macam jenis
pekerjaan di ladang, misalnya menugal, menanam ubi, menggemburkan tanah di sekitar
pokok ubi, membersihkan rumput, panen, mengangkut hasilnya ke rumah. Sambil
istirahat di bawah pohon di ladang, para wanita tampak merajut semacam benang
untuk "tasjala" yang
disebut noken. Noken menjadi wadah untuk membawa hasil ladang, bayi, yang
semuanya didukung di punggung dan tali noken itu disangkutkan di kepala. Di
atas kepala masih ada bawaan lain yang dijunjung.
Pada
masa terakhir, mereka juga sudah mengenal dan menanam ubi kayu, keladi, jagung,
kedelai, kacang tanah, kopi, apel. Tanaman sayuran ialah bayam, cabai, buncis, wortel,
bawang daun, bawang merah, mentimun, kentang, kubis, terong, sawi, dan tomat.
Tanaman baru ini dijual untuk kebutuhan para pendatang terutama di pasar
Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya. Pada masa terakhir, mereka juga sudah
diperkenalkan tanaman padi yang pada tahun 1985 sudah ada 9 hektar sawah.
Kebutuhan
lain adalah garam. Daerah pedalaman ini dikaruniai sumber air asin, yang di
Kecamatan Kurulu terdapat di atas puncak bukit berupa sebuah kolam atau telaga.
Air ini dijadikan garam. Cara membuat garam itu dengan merendam pelepah pisang
ke dalam sumber air asin itu dalam jangka waktu tertentu. Pelepah pisang yang
telah diresapi air asin itu diikat dan di bawa pulang ke rumah lalu dijemur.
Setelah kering, pelepah pisang dibakar dan abunya yang terasa asin itu digunakan
sebagai garam.
Organisasi Sosial
Sistem
kekerabatan orang Dani berdasarkan prinsip patrilineal. Kelompok kerabat
terkecil yang urn urn adalah sebuah keluarga luas virilokal (virilocal extended family), yang terdiri
dari seorang suami dengan seorang atau beberapa istri, anak-anaknya serta
saudara-saudara yang lain.
Dalam
lingkup keluarga inti atau keluarga luas ada pembagian kerja, antara lain
pembagian kerja berdasarkan seks. Dalam keluarga inti khususnya, istri atau
wanita lebih berperan dalam bidang logistik, sedang suami atau pria lebih
berperan dalam bidang pertahanan. Peranan berdasarkan seks ini rupanya dilatarbelakangi oleh adanya tradisi "perang" di masa lalu. Ketika kini,
tradisi perang itu sudah hilang, pembagian kerja tadi masih tampak dalam
kehidupan mereka.
Dalam
pertanian ladang, ternak, dan pekerjaan dalam rumah tangga, porsi pekerjaan istri
atau wanita tampak lebih besar dari pada suami atau pria. Kaum pria sekarang
yang tidak lagi berurusan dengan tradisi "perang" tampak seperti
lebih banyak "menganggur".
Keadaan
di atas ini menyebabkan kaum wanita merasakan bebannya terlalu berat. Dia tidak
mampu mengasuh anak dalam jumlah yang besar. Itulah sebabnya para ibu hamil
seringkali nekat melakukan aborsi dengan cara-cara tradisional yang merusak
kesehatan. Akibatnya kondisi fisiknya menjadi semakin lemah. Ada pula dugaan,
bahwa beban yang berat itu seolah-olah menjadi alasan bagi istri untuk
membenarkan atau mengharapkan suaminya kawin lagi. Dengan demikian beban
pekerjaan yang berat tadi terbagi kepada istri-istri yang lain.
Proses
perkawinan dan perceraian dari keluarga-keluarga yang berpoligami ini juga
tampaknya tidak sulit. Seorang pria di Kurulu mengakui pernah kawin 5 kali, yang
akhirnya tinggal dua istri. Perkawinannya dengan istri yang kedua pada awalnya
"dicemberui" oleh istri pertama, tapi akhirnya hubungan antara dua
wanita yang bermadu itu menjadi rukun-rukun saja. Perkawinan, sang suami justru
mendapat informasi dari istri pertama bahwa ada wanita yang ingin kawin
dengannya. Perceraian pun tampaknya mudah terjadi. Sang suami menceraikan istri
karena alasan bahwa sang istri malas bekerja atau berbuat serong dengan pria
lain. Perkawinan atau perceraian ini ada kaitannya dcngan pemilikan babi.
Perkawinan itu terjadi berdasarkan kemampuan membayar sejumlah babi untuk emas
kawin. Perceraian yang menyebabkan bekas istri kawin dengan orang lain,
menyebabkan bekas suami mendapat babi sebanyak yang pernah dibayarnya dahulu.
Laki-laki yang berbuat serong juga harus membayar denda berupa babi kepada
suami wanita yang digaulinya.
Peranan
suami dalam proses sosialisasi dan enkulturasi terhadap anak juga tapak
terbatas dibandingkan istri. Pengakuan seorang anak laki-laki (14 tahun) di
Kurulu, bahwa dia merasa tidak harus hormat pada ayahnya. Keadaan ini juga
tampak pada sikapnya terhadap sang ayah. Setiap hari, pagi dan petang, dia
memang mendapat jatah makanan (ubi) dari ibunya.
Mereka
ini mengenal sistem klen, dan orang yang berdiam dalam silimo tadi tidak harus
satu klcn, karena mungkin ada anggota kerabat dari pihak suami atau pihak istri.
Dalam masyarakat Dani terdapat banyak sekali klen, ada klen kecil (ukul) dan
klen besar (ukuloak) sebagai gabungan dari klen yang kecil tadi. Masyarakat
Dani yang ada di lembah Salim saja terbagi atas tidak kurang dari 49 buah
klen. Keseluruhan klen ini termasuk ke dalam dua paroh masyarakat, artinya
setiap klen menjadi bagian dari salah satu paroh masyarakat ini disebut ebe yang
dalam ilmu Antropologi atau Sosiologi dikenal dengan moiety. Baik klen maupun
kelompok-paroh masyarakat tadi bersifat eksogami, artinya tidak boleh kawin
antara orang satu klen dan satu ebe. Di samping klen tadi ada pula kelompok
klen besar yang disebut ukuloak, di mana anggotanya merasa berasal dari satu
nenek moyang, tetapi sulit untuk saling mengenal karena jumlahnya yang besar dan
tersebar di daerah yang luas. Sehubungan dengan sistem moiety dan ebe tadi,
orang Dani ini sangat dikenal dengan budaya "perang" nya.
Gabungan
dari beberapa silimo menjadi sebuah komunitas kecil yang disebut ap logalek, yang mempunyai pimpinan
tertentu yaitu yang biasa disebut sebagai "kepala suku" (inewa) dan kepala perang (ap endaboqur), dimana pimpinan yang
terakhir ini sering dianggap lebih penting dari yang pertama. Kepemimpinan
komunitas ini berlanjut secara turun-temurun, dari orang tua kepada anaknya. Anak
mana di antara beberapa anaknya yang menggantikan orang tuanya didasarkan
kepada isyarat dalam mimpi.
Religi
Dalam
kaitan dengan sistem kepercayaan, orang Dani sangat percaya kepada roh-roh (mogat)
orang yang telah meninggal. Roh itu berada di sekitar tempat kediaman keluarganya juga.
Seperti halnya manusia, roh itu dapat melihat, berbicara, berbuat baik atau
jahat, menolong atau menyebabkan kematian seseorang di medan perang. Seperti
manusia biasa roh itu membutuhkan makanan dan minuman. Bila seseorang sakit
atau kecelakaan, atau ternak (babi) sakit, roh itu dapat diminta tolong untuk
menyembuhkannya melalui suatu upacara. Dalam rangka upacara itu dipotong babi
dan sebagian dari daging itu diberikan untuk mogat.
Selain
percaya kepada rob, mereka juga percaya kepada benda-benda seperti batu pipih
(keneke). Batu pipih ini diyakini sebagai pusat segala roh orang yang
meninggal. Batu yang ukurannya sekitar 10x40 em bersama benda sakral lainnya,
seperti kayu pemukul, jala-jala gendongan, disimpan di dalam ruang khusus di
dalam pilamo, yang dikeluarkan setiap ada upacara khusus (ebe ako), atau pada
pesta babi. Upacara khusus tadi adalah upacara inisiasi, perkawinan, upacara
untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Upacara yang diadakan sekali
dalam 4-5 tahun itu ditandai dengan pemotongan ratusan ekor babi. Selain
kepercayaan asli itu banyak di antara mereka yang sudah menganut agama
Katolik dan Protestan.
Kepercayaan
kepada roh tadi rupanya terkait pula dengan bentuk rumah (honai) yang terurai
di atas. Rupanya honai yang tertutup, tanpa jendela, ventilasi, yang hanya
dengan pintu kecil dan rendah, adalah untuk menghindari masuknya roh-roh jahat,
yang bisa membuat mereka sakit atau mati. Itulah sebabnya mereka tidak mudah
diajak berdiam dalam rumah "kotak" yang ada jendela atau ventilasi.
Mereka beranggapan atau yakin dari celah jendela atau ventilasi itu akan masuk
roh jahat tadi. Padahal dalam kenyataannya, dalam honai yang pengap tadilah,
mereka dihinggapi banyak macam penyakit, misalnya "infeksi saluran
pernapasan atas" yang paling banyak dialami oleh orang Dani di Kurulu.
Namun, bagi mereka menderita penyakit semacam itu tidak dianggap sakit.
Bagi
mereka, babi merupakan binatang sakral, di samping sebagai mas kawin, alat
pembayar denda. Ada informasi, di mana seorang ibu tampak menggendong anak babi
sambil menyusuinya agar anak babi itu cepat gemuk, sementara anaknya sendiri
yang masih kecil berjalan kaki di sampingnya. Babi juga menjadi salah satu simbol
kekayaan. Babi itu disembelih hanya pada waktu pesta atau upacara; sedangkan
pada hari biasa bila mereka ingin makan daging babi, mereka membelinya. Babi
itu dianggap sebagai binatang perkasa, dan keperkasaannya itu tampak waktu
menangkapnya yang dilukiskan dalam permainan rakyat yang dinamakan wamhelo.
Selain
kepercayaan asli setempat mereka juga memeluk agama Protestan atau Katolik.
Memang tidak bisa dipastikan berapa jumlah mereka yang memeluk agama tersebut,
akan tetapi dari 328.131 jiwa jumlah penduduk Kabupaten Jayawijaya tahun 1985,
yang memeluk agama Protestan: 199.000 jiwa Katolik: 52.419 jiwa, dan Islam:19.000 jiwa. Tempat peribadatan yang tersedia adalah 426 gereja Protestan, 103
gereja 224 Katolik, dan 4 mesjid.
Perubahan
Setelah
Papua masuk ke dalam kekuasaan RI (1963) pembangunan masyarakat Dani khususnya
mulai dilaksanakan secara bertahap. Daerah sekitar pegunungan Jayawijaya
berstatus sebagai sebuah kabupaten dengan ibu kota Wamena. Tahun 1971 di Wamena
dibuka lapangan terbang, sehingga Jayapura-Wamena dapat dicapai dalam waktu
setengah jam. Kabupaten Jayawijaya umumnya kini memiliki 57 lapangan terbang,
terdiri atas delapan milik pemerintah dan 49 milik swasta. Selanjutnya kawasan lembah Baliem ini mendapat penerangan listrik, kendaraan mobil mu1ai masuk. Pada
tahun 1980 masyarakat kota Wamena dapat menikmati siaran TV dan hubungan
telepon dengan Jakarta dan daerah lain. Kini jalan raya yang menghubungkan
Jayapura-Wamena, sepanjang 400 kilometer, sedang dikerjakan dan diperhitungkan
selesai tahun 1994. Rupanya perkiraan waktu rampungnya jalan ini tidak tepat.
Prasarana dan sarana transportasi ini akan menjadi salah satu faktor bagi orang
Dani meninggalkan zaman batu dan menyongsong masuknya modernisasi
Komentar
Posting Komentar