BOLAANG
MONGONDOW adalah suku-bangsa yang mendiami wilayah administratif Kabupaten
Bolaang Mongondow, salah satu dari empat kabupaten di Propinsi Sulawesi Utara.
Suku bangsa Bolaang Mongondow terbagi atas beberapa sub suku bangsa, seperti
Mongondow, Bintauna, Kaidipang, Bolaang Itang, dan Bolaang Uki. Sub suku bangsa
tersebut pada umumnya terkonsentrasi pada wilayah kecamatan tertentu; sub suku
bangsa Mongondow, yang jumlahnya paling besar, tersebar pada 11 kecamatan;
Bintauna di daerah pesisir utara; Kaidipang di Kecamatan Kaidipang; Bolaang Itang
di Kecamatan Bolaang Itang dan sebagian Kecamatan Sangtombalang; Bolaang Uki
di Kecamatan Bolaang Uki. Anggota suku bangsa ini terbagi pula atas beberapa
kelompok penutur logat bahasa, seperti logat Mongondow, Bintauna, Kaidipang,
Bolaang, Lolak, dan Bantik. Bahasa pengantar dalam hubungan antar anggota suku
bangsa dan dalam situasi resmi adalah Bahasa Melayu Manado dan Bahasa Indonesia.
Dalam
berbagai sumber tertulis, seringkali muncul kerancuan dalam penamaan bagi
penduduk asaL Kabupaten Bolaang Mongondow ini. Komunitas itu kadang-kadang
disebut Bolaang, atau Mongondow, atau Bolaang Mongondow, di mana yang
dimaksud adalah warga dari ke lima subsuku bangsa tersebut di atas. Sebaliknya
dalam kedudukannya sebagai kerajaan ke lima kelompok itu tampil dengan nama
tersendiri. Dalam deskripsi ini Bolaang Mongondow itu dipakai sebagai nama
suatu gabungan dari sub kelompok tadi dengan lebih melihat ciri-ciri umum
budayanya yang menyebabkan bisa dilihat sebagai satu kelompok etnik. Dalam hal
yang khusus setiap sub kelompok itu akan dilihat secara terpisah.
Ketika
Belanda datang ke daerah ini. orang Bolaang Mongondow terhimpun dalam empat
kerajaan, masing masing Kerajaan Bolaang Mongondow, Bintauna, Bolaang !tang,
dan Kaidipang. Pada tahun 1962 di pesisir selatan terdiri kerajaan baru Bolaang
Uki, yakni masyarakat dari Gorontalo yang menyingkir karena berselisih dengan
Belanda. Pada tahun 1910 Kerajaan Bolaang Itang bergabung dengan Kerajaan
Kaidipang dan membentuk Kerajaan Kaidipang Besar. Semua kerajaan itu bertahan
sampai tahun 1950.
Lingkungan Alam
Masyarakat Bolaang Mongondow ini hidup di tengah suatu daerah dengan
topograsi dengan ketinggian yang bervariasi antara 500-2.000 meter di atas
permukaan laut. Di bagian tengah daerah ini terdapat dataran rendah yang luas,
yang dialiri sungai-sungai seperti sungai Ongkang Dumoga, Mongondow, Ayong,
Sangkub. Di sana-sini mencuat gunung-gunung dengan ketinggian di atas 1.500,
seperti gunung Batu Bulawan, Gambuta, Poniki, Paupau, dan dikenal dengan nama
Dumaga Bone. Kawasan seluas 167.338 ha itu terbagi menjadi suaka margasatwa
Dumoga (93.500 ha), cagar alam Balawa (75.200 ha), dan eagar alam Gunung Ambang
(8.638 ha). Kehadiran taman nasional, di Sulawesi Utara umumnya dan
dilain-lain.
Kabupaten ini pun memiliki Taman
Nasional yang daerah Bolaang Mongondow serta Gorontalo khususnya, merupakan
upaya mengatasi masalah penurunan masalah lingkungan akibat terganggunya
ekosistem vegetatif maupun semakin langkanya fauna endemik yang hidup di kawasan
ini. Beberapa satwa khas Sulawesi, yang dapat ditemukan di kawasan ini,
misalnya anoa (Bubalus deppresicornis dan Bubalus quarlesi), kera Sulawesi (Macaca nigrescens), dan kuskus (Phaalanger kursinus) yang merupakan golongan
satwa golongan mamalia. Satwa reptilia yang dikenal di daerah ini, misalnya
ular cobra dan jaring cobra (Naja raja dan Naja Hannah), ular ekor merah
(Nmaticora intestinalis) dan ular balap (Lycodon Sp). Selain itu terdapat
burung Maleo (Macroceaphalon mateo) yang merupakan burung khas Sulawesi,
soa-soa (Hydrosaurrus ambonensis). Satwa lainnya adalah babi hutan, rusa,
burung nuri, gagak, kakak tua, enggang, buaya, biawak, dll. Hutannya ditumbuhi
berbagai jenis kayu tropis, misalnya meranti, kayu hitam, kayu besi, cempaka,
rotan, bambu. bakau, dan lain-lain.
Demografi
Gambaran tentang
jumlah anggota masyarakat Bolaang Mongondow hanya dapat diketahui secara lebih
tepat adalah dari sensus penduduk tahun 1930, yaitu sebesar 58.815 jiwa. Data
kependudukan pada masa berikutnya tidak lagi memperhatikan etnisitasnya. Dengan
demikian angka tentang penduduk daerah ini merupakan campuran dari berbagai latar belakang etnik, misalnya jumlah pen-duduk kabupaten ini menurut sensus
tahun 1961 adalah 150.217 jiwa, tahun 1971 berjumlah 211.359 jiwa, tahun
1980 berjumlah 299.696 jiwa, tahun 1988 telah menjadi 354.253 jiwa.
Data penduduk di atas menunjukkan
pertambahan jumlahnya yang relatif besar. Seperti terungkap dalam laporan yang
belum diterbitkan, oleh F.E.W.Parengkuan dan L.L.Ticoalu Peca Suku Bangsa dan
Deskripsi Kebudayaan Propinsi Sulawesi Utara (Departeman Pendidikan dan
Kebudayaan, 1984) pertambahan ini antara lain disebabkan banyaknya masuk
anggota masyarakat dari luar daerah ini, misalnya dari daerah Minahasa,
Gorontalo, Sangir, Talaud, Bugis, transmigran dari Jawa dan Bali. Orang
Minahasa, Gorontalo, dan Sangir memang merupakan tetangga secara geografis.
Kehadiran orang Minahasa antara lain karena pembukaan perkebunan kelapa di
Kecamatan Pasi, perkebunan kopi di Kecamatan Modayang, dan lain-lain. Kini
orang Minahasa ada di 15 kecamatan dal am kabupaten ini , bahkan di Kecamatan
Poigar, mereka menjadi mayoritas (60%).
Orang Gorontalo telah mulai masuk
ke daerah ini sejak abad ke 19 yang lalu. Mereka banyak berdiam di Kecamatan
Kaidipang dan Bolaang Uki yang berbatasan dengan daerah Gorontalo. Di sana
mereka umumnya hidup sebagai petani. Dengan dibukanya jalan Trans Sulawesi,
orang Gorontalo lebih banyak lagi yang pindah ke daerah kabupaten ini bahkan
ke daerah Minahasa. Orang Sangir dan Talaud mulai masuk ke daerah ini sejak
meletusnya gunung api di pulau Siau pada tahun 1892. Pada mulanya mereka lebih
banyak berdiam di daerah pantai untuk dapat melanjutkan kebiasaan dalam mata
pencaharian sebagai pelaut. Kini mereka ada pada 11 dari 15 kecamatan yang ada
di kabupaten ini. Transmigran Bali, mulai masuk ke daerah ini pada tahun 1963,
yang merupakan transmigran bedol desa karena meletusnya gunung Agung di pulau
Bali. Transmigran dari Jawa dan juga dari Bali menyusul lagi pada tahun 1972
dan tahun-tahun berikutnya. Keberhasilan transmigrasi itu, terutama yang
dialami transmigran Bali, telah mengundang transmigran swakarsa ke daerah ini.
Antara masyarakat setempat dan pendatang telah mengembangkan hubungan yang
cukup baik.
Mata Pencaharian
Sesuai dengan
keadaan alamnya, orang Bolaang Mongondow pernah mengembangkan mata pencaharian
berladang berpindah-pindah. Sistem perladangan itu dilakukan dengan cara
merambah hutan primer, yang disebut manalun, dan menggarap belukar bekas ladang
yang disebut mamarut jurame. Seperti pola kegiatan sistem perladangan,
tahap-tahap aktivitas perladangan dimulai dengan menandai areal, membersihkan
belukar di bawah pohon, menebang pohon, memotong dahan dan meratakan hamparan,
membakar, membersihkan ladang yang sudah dibakar, menanam, menyiangi, dan
panen. Tahap-tahap pekerjaan ini ada yang dilakukan dengan pengerahan tenaga
orang lain yang disebut posad atau mododuluan. Di ladang ini ditanami padi
sebagai tanaman utama, di samping ada tanaman selingan palawija. Kemudian
tanaman padi sebagai tanaman utama digantikan oleh kedelai karena secara
ekonomis lebih menguntungkan dari pada padi. Rasionalitas ekonomis ini tidak
semata-mata berpatokan pada nilai uang bila dipasarkan, tetapi juga jumlah panen
dalam setahun serta intensitas pemeliharaannya.
Bekas ladang yang sudah
ditinggalkan selama 2-3 tahun dikerjakan lagi untuk ladang. Pekerjaan mamarut
jurame jauh lebih mudah dan lebih cepat dari pada merambah hutan tadi. Jenis
pekerjaan yang dilakukan adalah membabat semak belukar, membakar, membersihkan
sisa-sisa belukar yang tidak habis dimakan api. Di sini pun mereka menanam padi
dan tanaman selang seperti kacang-kacangan. Areal itu ada yang sudah ditanami
dengan tanaman kopi, kelapa, atau cengkeh. Oleh sebab itu waktu pembakaran
rumputnya harus hati-hati.
Dengan berkembangnya jumlah
penduduk dan adanya pendatang dari luar yang juga mengolah sektor pertanian,
lahan menjadi sempit. Oleh karena itu sistem perladangan berpindah-pindah mulai
ditinggalkan. Di antara mereka banyak yang beralih menjadi petani sawah atau
merangkap sebagai petani ladang. Pekerjaan sampingan lainnya adalah menangkap
ikan, mengumpulkan hasil hutan, membuka kios, dan lain-lain. Banyak pula yang
menjadi pegawai negeri, militer, buruh, tukang, dan lain-lain. Dalam
pengolahan lahan pertanian mereka telah lama mengenal sistem kerja sama, baik
di tingkat keluarga inti, keluarga luas, atau tingkat desa. Tolong menolong
juga diwujudkan bila ada orang sakit, meninggal dunia, mengadakan perkawinan,
atau mendirikan rumah baru. Pertolongan diberikan dalam bentuk barang, hasil
pertanian, uang, dan tenaga
Daerah ini juga mempunyai potensi
besar dengan adanya deposit mineral tambang emas yang sudah diusahakan rakyat
sejak zaman Belanda. Usaha rakyat diikuti oleh pemerintah Belanda yang pada
tahun 1934 1936 melakukan penambangan dengan peralatan yang maju menurut ukuran
zaman itu. Batangan-batangan emas itu diangkut ke negeri Belanda dan terhenti
karena pecah Perang Dunia II. Pada periode-periode berikutnya rakyat kembali
meneruskan usaha itu sebagai salah satu alternatif untuk mata pencaharian.
Kawasan pencarian emas itu semakin meluas dan orang memilih usaha itu karena
kegagalan dalam pertanian karena kemarau dan lain-lain. Namun pada masa
terakhir ini muncul lagi teknologi tromol, jenis alat pemrosesan batu yang
mungkin mengandung emas, yang menganut hasil penambangan itu bagi pemilik modal
(Suara Pembaruan, 28-3-1989).
Kekerabatan
Orang Bolaang
Mongondow mengenal bentuk-bentuk kelompok kekerabatan. Kelompok kekerabatan
yang terkecil adalah keluarga inti (tonggolaki). Kelompok kekerabatan yang
lebih besar, tonggoabuan, terdiri atas keluarga inti senior, anak-anak yang
sudah kawin, dan kakek nenek mereka. Kelompok kerabat lain yang lebih besar
disebut motouadi yang anggotanya meliputi saudara sekandung, saudara sepupu
pihak ayah dan ibu, paman dan bibi dari pihak ayah dan ibu. Sistem penarikan
garis keturunan adalah bilateral, artinya, hubungan kerabat dihitung melalui
garis laki laki dan perempuan. Sistem ini berpengaruh pada pemberian warisan.
Pada masyarakat Bolaang Mongondow, baik laki-laki maupun perempuan mendapat
bagian warisan yang sama besar.
Hubungan baik, kerja sama,
tolong-menolong merupakan nilai yang tinggi dalam lingkungan kerabat dan
komunitas orang Bolaang Mongondow. Prinsip tolong-menolong di lingkungan
kerabat tidak terikat oleh adanya jasa atau pamrih, melainkan dilandasi oleh
perasaan kekeluargaan yang mewajibkan semua anggota saling menolong. Prinsip
itu tercermin dalam berbagai aktivitas. Tonggolipu adalah kewajiban yang
didasarkan pada kesadaran untuk menyumbangkan tenaga, pikiran atau materi
terhadap warga lainnya yang sedang menyelenggarakan pesta perkawinan atau
upacara berkabung, membersihkan tempat ibadah, membersihkan kuburan, dan
lain-lain. Posad adalah menolong orang lain yang sedang membuat rumah, membersihkan
kebun, dan lain-lain. Popogutat adalah menolong kerabat terdekat dalam
kedukaan, pekerjaan dalam perkawinan, dan lain-lain. Lolongoan adalah kewajiban
menjenguk kerabat yang sedang sakit. Tonggadi artinya seorang ayah harus
memberikan sesuatu yang sama kepada anak kandung, anak angkat, dan anak tiri.
Tonggama adalah pemberian.anak kepada orang tua tanpa pamrih. Luatton artinya
secara adat seseorang menarik kembali ucapan yang telah terlanjur menyinggung
perasaan orang lain sambil meminta maaf secara ikhlas.
Agama dan Kepercayaan Asli
Anggota suku bangsa Bolaang Mongondow umumnya memeluk agama Islam. Ajaran agama
Islam masuk ke daerah ini sejak tahun 1660, sedangkan ajaran agama Kristen
masuk tahun 1904. Pada tahun 1976, pemeluk agama Islam di daerah ini berjumlah
189.810 jiwa (79,44 persen), Protestan 44.941 jiwa (18,81 persen), Katolik
2.654 jiwa (1,1 persen), dan Budha 1.524 jiwa (0,64 persen).
Upacara daur hidup lebih banyak
bersandar pada ajaran agama Islam, meskipun sistem kepercayaan leluhur di
sana-sini masih tersisa. Seorang wanita hamil pernah dikenal
pantangan-pantangan, misalnya tidak boleh duduk di tangga yang menghadap jalan
raya, tidak boleh memasukkan kayu bercabang ke dalam api, keluar rumah pada
senja dan malam hari harus pakai kudung,tidak boleh mandi waktu magrib, dan
lain-lain. Namun ketika seorang bayi laki-laki lahir harus dibacakan azan,
iqamah bagi bayi perempuan, sesuai dengan ajaran Islam. Kelahiran bayi pertama
diadakan upacara makan bersama (babatoin lipu ) dengan mengundang iman dan
tua-tua desa, mengadakan selamatan dan membaca ayat-ayat Qur'an. Anak-anak
diserahkan kepada guru mengaji untuk dapat dan mahir mengaji Qur'an. Demikian
ada contoh lain tentang keterkaitan adat-istiadat dengan kaidah agama Islam.
Komentar
Posting Komentar