Langsung ke konten utama

SUKU BIAK - PAPUA

 

BIAK adalah satu kelompok sosial yang biasa juga dinamakan suku bangsa Biak Numfor, karena kelompok ini berdiam di pulau Biak dan pulau Numfor dan sekitarnya sebagai gugusan kepulauan Biak. Kepulauan ini terdiri dari tiga pulau besar, yaitu pulau Biak dengan luas 1795,75 KM persegi, pulau Supiori dengan luas 471,75 KM persegi, dan pulau Numfor dengan luas 322,50 KM persegi. Dalam lingkup administrasi pemerintahan wilayah ini termasuk ke dalam Kabupaten Teluk Cenderawasih dan ada sumber tertulis lain menamakan Kabupaten Biak-Numfor. Kabupaten ini terbagi atas delapan kecamatan, 71 buah desa dan 284 kampung. Ke delapan kecamatan ini adalah Kecamatan Biak Kota, Biak Timur, Biak Utara, Biak Barat, Supriori Selatan, Supriori Utara, Numfor Timur dan Numfor Barat

Sebagian besar (70 %) dari pulau Biak berupa karang dan kapur; dan selebihnya (30 %) adalah lahan subur yang memungkinkan untuk pertanian. Pulau Supiori merupakan daerah bergunung-gunung dengan hutan lebat dan tanahnya subur. Pulau Numfor merupakan dataran rendah dengan beberapa deretan bukit dan tanahnya cukup subur

Kepulauan ini dipengaruhi iklim tropis. iklim itu menciptakan tipe hutan tropis basah yang komposisinya amat heterogen. Hutan itu terbagi dua, yaitu hutan pantai dan hutan gunung. Hutan pantai itu berupa tumbuhan bakau dan kelapa. Hutan gunung berupa beberapa jenis kayu yang baik mutunya. Satwa di daerah ini terdiri dari kuskus, tupai, burung mambruk, burung mateo, kakatua putih, dan lain-lain. Jenis ikan tercatat ikan duyung, tenggiri, hiu, tuna, dan lain-lain.

Demografi

Berdasarkan ciri-ciri fisik, sejumlah pendapat muncul tentang penduduk yang mendiami kepulauan teluk Cenderawasih (teluk Sairera) ini. Pada mulanya, kepualauan ini didiami oleh penduduk dengan ciri Weddoid; sementara yang lain menyatakan campuran ras pribumi Irian dengan Melayu (Mongoloid), atau campuran Melanesoid dengan pribumi Irian.

Ciri lain dari orang Biak-Numfor bersifat dinamis dan selalu bergejolak dalam segala situasi, karena latar belakang perkelanaan bahari yang dialami sejak lama. Kondisi alam di pulau karang yang terkadang minus, sangat mendorong mereka untuk selalu memperhitungkan situasi, bergerak, berpindah, berkelana menghadapi gelombang dan badai laut. Mereka pun memiliki pengetahuan untuk membaca letak bintang, menandai arah angin, memperkirakan akan datang badai, musim ikan, dan lain-lain.

Data statistik tahun 1979 mencatat jumlah penduduk kabupaten ini sebesar 75.280 jiwa, sejumlah 50% (3 7.211 jiwa) berdiam di Kecamatan Biak Kota. Sebaliknya, kecamatan yang sedikit jumlah penduduk (2.600 jiwa). Sensus penduduk tahun 1990 mencatat jumlah penduduk Kabupaten ini telah menjadi 90.843 jiwa. Jumlah ini tentu merupakan gabungan antara penduduk setempat dan pendatang. Mereka menyebut pendatang dengan istilah Amberi, misalnya orang Jawa, orang-orang dari Sumatra, Sulawesi, Maluku, dan lain lain. Golongan Amberi ini ada yang bekerja sebagai duknya adalah misalnya Kecamatan Supiori Utara orang-orang dari Sumatra, Sulawesi, Maluku, dan lain lain. Golongan Amberi ini ada yang bekerja sebagai pegawai negeri, tentara, pengusaha, pedagang kecil, sopir taksi, nelayan, dan lain-lain.

Di antara pendatang ini, misalnya orang Bugis, Makassar, Buton menyebar ke kampung-kampung dan berintegrasi secara aktif dengan penduduk setempat dan mereka diterima dengan baik. Para pendatang ini membuat kebun sayur-mayur, buah-buahan, penggergajian kayu, penangkapan ikan. Para pendatang ini umumnya beragama Islam, sehingga di beberapa tempat nampak tempat ibadah kaum muslimin berdampingan dengan gereja dari penduduk setempat.

Orang Biak merupakan suku-bangsa yang mobilitasnya tinggi di antara kelompok etnik di Irian. Ini sudah mulai sejak berabad -abad yang lalu dan masih berlangsung sampai sekarang. Mereka tersebar di pantai utara Irian mulai dari Jayapura, pulau-pulau Kumamba, Membramo, hulu Teluk Cenderawasih, Kurudu, Yapen Utara, pantai utara Kepala Burung sampai ke Raja Ampat di sebelah barat. Di Jayapura, ibu kota provinsi, mereka bekerja sebagai pejabat pemerintah, swasta, tentara, guru Injil, nelayan, petani dan buruh. Mereka bermigrasi dengan bermacam-macam alasan, antara lain percekcokan dalam kampung, mencari lokasi pemukiman baru yang aman, mencari tanah yang lebih subur, mencari pekerjaan di kota-kota, atau karena panggilan tugas.

Latar Belakang Sejarah

Awal kontak resmi orang Biak dengan dunia luar dimulai sekitar akhir abad ke-15, yaitu dengan Kesultanan Tidore yang sempat menjangkau daerah ini. Pada mulanya seorang satria Biak, bernama Kurabessi, melawat ke Tidore dan sempat kawin dengan putri Sultan. Pelawatan itu berlatar belakang kepercayaan orang Biak tentang koreri, suatu simbol negeri bahagia dan makmur yang telah pergi ke arah barat. Petualangan ke arat barat itu untuk mencari dan menemukan koreri yang hilang itu. Ketika di Maluku, mereka berkenalan dengan benda-benda asing, seperti keramik, kain, perunggu, dan besi menguatkan pandangan msitis suku-bangsa ini, bahwa benarlah koreri itu telah muncul di sebelah barat. Benda-benda tadi merupakan produk negeri bahagia koreri. Sultan Tidore adalah Mansren Koreri ("Penguasa Koreri"), artinya Penguasa orang Biak. Itulah motif yang paling mendasar mengapa orang Biak sejak berabad-abad yang lalu tidak henti-hentinya mengunjungi Tidore.

Hegemoni Tidore pun memasuki kepulauan Biak, dan sebagai daerah taklukan, orang Biak diwajibkan membayar upeti setiap tahun. Upeti itu berupa hasil bumi seperti getah damar, kulit mosoi, burung nuri, cendrawasih, burung mambruk, batu am bar, kulit penyu. Sebagai penghargaan terhadap pemimpin Biak yang memenuhi kewajibannya dengan baik, Sultan Tidore menganugerahkan gelar-gelar kehormatan. Sampai sekarang gelar-gelar itu masih digunakan sebagai nama karet atau fam, misalnya Kapitarau (Kapitan Laut), Kapita (Kapitan), Mayor (Mayor), Sanadi (Sangaji), Suruan (Suruhan), dan Urbasa (Juru bahasa).

Pengaruh lain yang kemudian masuk adalah dari Eropa, misalnya Belanda, yang kemudian memasukkan benda-benda budaya baru pula. Benda-benda itu menyebabkan mereka mengaitkan koreri itu pergi ke Belanda. Setelah Irian Jaya kembali ke pangkuan Republik Indonesia ada anggapan koreri itu ada di Tanah Jawa dan menunggu kembali ke tanah asalnya di Irian Jaya. Peranan benda-benda asing itu masih berlaku sampai saat ini dan mempunyai fungsi dalam perkawinan.

Bahasa

Orang Biak mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Biak atau Biak-Numfor, yang termasuk keluarga bahasa Melanesia. Bahasa ini masih dapat dibagi atas sembilan dialek di kepulauan teluk Cenderawasih dan tiga dialek di luar daerah itu, yaitu daerah Roon, Doreh, dan Waigeo Barat. Catatan sekitar tahun 1960-an menunjukkan bahwa jumlah penutur bahasa ini berjumlah sekitar 40.000 orang berdiam di pulau Biak, pulau Numfor dan pulau-pulau kecil di timur dan barat daerah Kepala Burung.

Pola Perkampungan

Kampung-kampung biasanya tersebar di sepanjang pantai, karena mereka ada kepentingan berhubungan dengan warga pulau lain di sekitar teluk ini. Pada masa lalu pemukiman di pantai itu dianggap strategis bila ada perang antar kampung atau antar kelompok. Setelah masuknya ajaran agama Kristen kebiasaan itu berangsur-angsur hilang dan sekarang sebaliknya sudah tolong-menolong dalam masa paceklik, pembuatan rumah, mengerjakan kebun dan lain-lain. Selain di tepi pantai rumah-rumah juga didirikan di tepi sungai dan kini di sisi jalan-jalan umum

Rumah mereka umumnya berupa rumah panggung yang berdiri di atas tiang, baik rumah yang ada di atas air (rumah berlabuh) maupun rumah di darat. Tiang-tiang dibuat dari kayu yang keras, misalnya kayu besi, atapnya daun rumbia, lantainya kayu nibung.

Mata Pencaharian

Dalam jangka waktu yang lama dari masa lalu, perikanan merupakan mata pencaharian yang penting, dan makanan pokok mereka adalah ikan dan kerang. Para wanita mencari ikan dan kerang di sekitar karang-karang, dan kaum pria mencari ikan yang lebih besar ke tengah laut. Dalam penangkapan ikan ini mereka menggunakan beberapa macam alat, misalnya tangguk (pam), sejenis pukat (pam papos), jala, tombak (manorra) terbuat dari bambu, pancing (awiuwer), dan lain-lain.

Jenis mata pencaharian lain adalah bercocok tanam dengan menanam ubi-ubian, gandum gierst, sejenis kacang merah. Kebun mereka ini terletak jauh dari kampung, tetapi pisang dan tebu ditanam di sekitar rumah. Ternak babi dan ayam merupakan urusan kaum wanita, namun ternak ini tidak begitu penting dalam kehidupan mereka. Binatang buruannya adalah babi, kuskus, burung, dan ular. Babi diburu dengan anjing yang telah dilatih, burung diperoleh dengan panah atau dengan jala.

Mereka pernah mengenal sistem perdagangan yang disebut manibobi, yaitu teman atau orang kampung lain yang menjadi partner dalam melakukan perdagangan tertentu, atau tempat meminta bantuan dalam keadaan susah, misalnya kekurangan makanan. Barang-barang berharga tidak diminta pembayaran lunas, tetapi si pembeli wajib memberi si penjual berupa makanan jika diperlukan. Barang-barang yang diperdagangkan oleh penduduk lokal adalah bahan makanan, misalnya sagu, keladi, ubi, pinang yang diasap (ropum) ikan yang diasap; serta gelang kerang (fonis) sebagai perhiasan, gelang lengan atas berwarna hitam (asisio), manik-manik. Alat alat yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya senjata, tombak ikan, parang, kapak, mata panah, perahu, piring besar (kobor). Barang perdagangan yang dikirim ke luar kepulauan ini adalah damar putih, teripang, lokan, kayu besi, rotan; sedangkan yang didatangkan dari luar adalah beras, sagu, barang kelontong.

Organisasi Sosial

Kelompok-kelompok kekerabatan dikenal mulai dari keluarga batih (sim), keluarga luas (rumh), dan klen kecil (keret). Dulu sebuah keluarga luas menempati sebuah rumah besar (aberdado), yang dibagi atas beberapa bilik (sim) yang didiami oleh satu keluarga batih. Keluarga batih itu sendiri ada yang keluarga batih monogami (sim inbesefek) dan keluarga batih poligami (sim imbekya). Sebuah kampung terdiri dari satu sampai beberapa klen (keret). Ada klen yang hanya terdiri dari satu atau dua keluarga batih. Satu kampung besar ada yang terdiri dari lima sampai tujuh klen.

Klen (keret) itu adalah kelompok kerabat yang sangat penting bagi orang Biak, yang berasal dari satu nenek moyang, namun nenek moyang itu tidak jelas lagi kecuali sebagai tokoh suci. Keret masih terbagi atas beberapa kelompok yang lebih kecil, yang disebut kerel kasun dengan tokoh nenek moyang yang masih nyata. Mereka mengamalkan adat eksogami klen, kecuali kalau sudah keturunan dari angkatan ke empat.

Hubungan antara anggota kerabat sangat erat. Hubungan antara seorang laki-laki dengan saudara perempuan begitu eratnya, sehingga pernah ada kebiasaan di masa lalu seorang perempuan mencampur makanan mereka dengan darah saudara laki-lakinya yang disunat. Saudara laki-laki ibu mempunyai peranan penting dalam keluarga, terutama dalam memimpin upacara inisiasi, yang merupakan salah satu upacara penting dalam kehidupan orang Biak.

Penarikan garis keturunan adalah kepada pihak ayah atau laki-laki. Pusaka diterima oleh anak laki-laki yang sudah dewasa. Kalau kebetulan tidak punya anak laki laki, maka pusaka itu diberikan kepada saudara laki-laki yang tertua, termasuk istrinya sendiri (levirat). Kalau saudara laki-laki itu sudah kawin dan tidak mau menerima istri saudaranya itu, maka diserahkan kepada saudara laki-laki yang lain atau saudara sepupu (napirin) pihak ayah.

Pada masa lalu, mereka mengenal beberapa golongan sosial, yakni lapisan Manseren (Penguasa), Mambri (Satria,) Mananwir (Kepala adat), dan Women (budak). Golongan penguasa adalah keturunan penduduk yang pertama membuka suatu kampung. Mereka memiliki hak ulayat atas tanah dan laut. Golongan Satria berperan memimpin perang atau membela kampung dari serangan musuh. Golongan ini sekarang sudah tidak ada lagi. Golongan Kepala adat adalah orang-orang yang bijak, yang sampai kini masih dihormati, misalnya ditunjuk menjadi kelapa desa. Golongan budak pun kini sudah tidak ada lagi.

Kesenian

Ekspresi seninya berkaitan dengan sistem religi mereka. Seni rupa yang terkenal adalah patung karwar dan ukiran naga. Musik dan tari merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Patung karwar berkaitan dengan ritus kematian dan perkabungan. Patung ini terbuat dari kayu berbentuk manusia dalam posisi duduk atau berdiri. Patung dengan posisi duduk bertekuk lutut bertopang dagu. Bagian bawah dagu hingga perut dibentuk menyerupai kotak terbuka. Dalam kotak tersebut diletakkan berbagai sajian sebagai persembahan kepada para arwah nenek moyang (korwar), dan yang berarti juga setan. Patung itu sulit diidentifikasi berparas laki-laki atau perempuan, karena lebih merupakan karya seni kubisme yang abstrak. Patung itu dihormati, tetapi apabila tidak dapat menolong manusia seringkali dibelah belah dan dibuang sebagai benda yang tak berguna. Kepulauan ini digolongkan sebagai Wilayah Budaya Saereri, dengan ciri khasnya yang disebut daerah bergaya karwar (korwar style). Ciri lain ada pada motif ukiran atau seni rias yang ditempatkan pada badan perahu, dinding rumah, peralatan dan senjata, pakaian, perhiasan, dan juga tatoage.

Religi

Sistem kepercayaan leluhur orang Biak menggariskan bahwa kekuasaan dalam alam ini dimiliki oleh Nanggi (Tuhan Langit). Upacara keagamaan yang menyeluruh adalah fannanggi, yaitu memberi makan pada Yang Kuasa tadi, yang dilakukan oleh seorang pemuka keagamaan yang disebut Mon. Upacara inisiasi seperti k'bor yaitu melukai kemaluan laki-laki juga dipimpin oleh Mon. Upacara ini mendidik seseorang untuk meninggalkan masa kanak-kanaknya untuk menjadi laki -laki dewasa dan menyelaraskan kepribadiannya dengan kebutuhan masyarakatnya.

Kematian dihadapi dengan duka yang dalam dengan cara menjaga mayat sambil meratapinya. Apabila si mati orang yang sangat dikasihi, mayatnya disimpan sampai dua hari. Hidung, mulut, telinganya disumbat dengan tembakau, sedangkan lubang pelepasannya tidak disumbat, karena itu jalannya roh simati meninggalkan tubuh. Mayat itu ada yang dikubur, ada pula yang diletakkan di atas panggung sampai dagingnya membusuk (exposure). Selama 30 hari anggota keluarga berada dalam suasana berkabung (frur sarop). Mereka harus tinggal dalam rumah. Kalau harus meninggalkan rumah tubuh harus ditutup dan jalan membungkuk seperti orang ketakukan, agar tidak menarik perhatian roh yang meninggal itu. Orang Biak mengenal totemisme berganda yang terdiri dari burung, binatang darat dan laut. Mereka pun mengenal dongeng suci yang dihayati secara mendalam oleh orang Biak, yaitu Manarmakeri.

Agama Kristen masuk ke Biak pada tahun 1908. Dalam jangka waktu yang panjang masih terjadi konflik antara kepercayaan leluhur dan agama Kristen; dan sistem kepercayaan leluhur itu masih berlaku sampai masa pendudukan Jepang. Namun kemudian berangsung-angsur ajaran agama baru ini semakin berkembang dengan cara-cara menyesuaikan dengan kepercayaan lama itu. Kini sebagian besar dari mereka telah menganut agama Kristen Protestan.

 

Komentar